Minggu, 07 Februari 2016

Nasihat Bagi Para Peserta Ujian Nasional

Untaian Nasehat Peserta UN (Ujian Nasional)



telah menjadi satu konsekuensi, setiap orang yang belajar harus menempuh ujian, Sebagai penentu apakah dia termasuk orang yang berhasil ataukah seorang pecundang. Tidak hanya dalam masalah pelajaran dan pendidikan, bahkan dalam masalah iman dan ketakwaan juga ada ujian. Allah akan menguji setiap orang yang beriman, untuk membuktikan apakah orang tersebut betul-betul beriman ataukah hanya sebatas pengakuan bahwa dirinya beriman. Allah berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa dirinya bebas untuk mengatakan “kami beriman” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dalam imannya dan siapakah yang dusta dalam imannya.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
Bukti yang menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang bisa dilihat setelah dia menjalani ujian.
Musim UN menjadi masa para siswa dalam karantina. Segala aktivitas kesehariannya menjadi berubah. Yang dulunya sering bergadangan nonton bola dan klayapan, masuk UNtiba-tiba jadi remaja soleh – slohihah. Ada yang rajin tahajud, ada yang rutin puasa sunah, ada yang bernadzar, bahkan ada yang mujahadahan. Berbagai upaya dikerjakan, demi mengejar prestasi dan cita-cita. Detik-detik menegangkan, menentukan nasib setumpuk harapan pribadi dan orang tua.
Untuk itu, ada baiknya jika pada kesempatan yang singkat ini kita bahas adab-adab yang selayaknya diperhatikan dalam ujian. Karena kita yakin bahwa syariat islam adalah syariat yang paripurna, menjelaskan seluruh permasalahan umat. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Salman Al Farisi dengan orang kafir. Suatu ketika ada orang kafir yang berkata kepada Salman dengan nada agak mengejek: “Hai Salman, benarkah Nabimu mengajarimu semua hal sampai dalam masalah buang air..?” Salman lantas menjawab dengan nada penuh bangga: “Iya, betul. Beliau mengajari kami semua hal sampai dalam masalah buang air.” (Dikutip oleh Ibnul Qoyyim dalam Hidayatul Hiyari hal. 99)

Adab-adab ketika ujian

Pertama, Berusaha disertai tawakkal
Inilah langkah awal yang selayaknya dilakukan oleh setiap yang mengharapkan keberhasilan. usaha merupakan modal pertama meraih kesuksesan. karena sukses tidaklah serta merta turun dari langit. perubahan hanya akan terjadi ketika orangnya mau berusaha untuk berubah. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11).
Karena itu, dalam islam tidak ada kamus tawakal tanpa usaha. Karena setiap tawakal harus diawali usaha. Tawakal tanpa usaha diistilahkan dengan tawaaakal (pura-pura tawakal).
Namun ingat, juga jangan terlalu bersandar pada usaha dan kemampuan kita. karena semuanya berada di bawah kehendak Sang Maha Kuasa. Sehebat apapun usaha kita, jangan sampai membuat kita terlalu PD, sehingga mengesankan tidak membutuhkan pertolongan Allah.
Allah menjanjikan, orang yang bertawakkal akan dicukupi oleh Allah. sebagaimana disebutkan dalam firmannya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3).
Sebaliknya, orang yang tidak bertawakkal maka dikhawatirkan akan diuji dengan kegagalan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita: “Nabi Sulaiman pernah berikrar: “Malam ini aku akan menggilir 100 istriku. semuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berjihad di jalan Allah.” beliau mengucapkan demikian dan tidak mengatakan: “InsyaaAllah”. Akhirnya tidak ada satupun yang melahirkan kecuali salah satu dari istrinya yang melahirkan setengah manusia (baca: manusia cacat). kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اسْتَثْنَى، لَوُلِدَ لَهُ مِائَةُ غُلَامٍ كُلُّهُمْ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Andaikan Sulaiman mau mengucapkan InsyaaAllah niscaya akan terlahir 100 anak dan semuanya berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad 7137 dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Siapa kita dibanding Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Keinginan seorang Nabi yang tidak disertai tawakkal ternyata bisa menui kegagalan.
Kedua, Hindari sebab yang tidak memenuhi syarat
Ada sebagian orang yang ketika hendak ujian dia menempuh jalan pintas. Dia menggunakan sebab yang bertolak belakang dengan syariat. Ada yang datang ke orang pintar untuk minta perewangan. Ada yang makan kitab biar bisa cepat hafal. Ada yang dzikir tengah malam dengan membaca ribuan wirid yang tidak disyariatkan, dan seabreg trik lainnya untuk menggapai sukses.
Perlu kita tanamkan dalam lubuk hati kita bahwa segala sesuatu itu bisa dijadikan sebagai sebab jika memenuhi dua kriteria:
Ada hubungan sebab akibat yang terbukti secara ilmiyah. misalnya belajar dan menghafal adalah sebab untuk mendapatkan pengetahuan.
jika syarat pertama tidak terpenuhi maka harus ada syarat kedua, yaitu sebab tersebut ditentukan oleh dalil. sehingga meskipun sebab tersebut tidak terbukti secara ilmiyah memiliki hubungan dengan akibat namun selama ada dalil maka boleh dijadikan sebagai sebab. contoh, meruqyah dengan bacaan Al Qur’an untuk mengobati orang sakit. meskipun secara ilmiyah tidak bisa dibuktikan secara ilmiyah apakah hubungan antara bacaan Al-Qur’an dengan pengobatan, namun mengingat ada dalil yang menegaskan hal tersebut maka itu bisa dijadikan sebagai sebab.
jika ada sebab yang tidak memenuhi dua kriteria di atas maka menggunakan sebab tersebut hukumnya syirik kecil. karena berarti dia telah berdusta atas nama Allah. dia meyakini bahwa hal itu bisa dijadikan sebab padahal sama sekali Allah tidak menjadikan hal itu sebagai sebab.
Dan jika sebab yang ditempuh itu berupa amal, maka syaratnya harus ada dalilnya. jika tidak, bisa jadi terjerumus ke dalam jurang dosa bid’ah.
Ketiga, Perbanyak Istighfar
Sesungguhnya salah satu sumber utama kegagalan yang terjadi pada manusia adalah dosa dan maksiat. Allah tegaskan,
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa..” (QS. As-Syura: 40)
Salah satu dampak buruk dosa adalah bisa menghalangi kelancaran rizki. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,
إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه
Sesungguhnya seseorang terhalangi untuk mendapat rizki, disebabkan dosa yang dia perbuat. (HR. Ahmad 22386 dan dihasankan Al-Albani).
Karena itu, agar kita terhindar dari dampak buruk perbuatan maksiat yang kita lakukan, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Perbanyak istighfar dalam setiap waktu yang memungkinkan untuk berdizkir. Kita berharap, dengan banyak istighfar, semoga Allah memberi ampunan dan memudahkan kita untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
Dalam sebuah hadis dinyatakan,
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang membiasakan istigfar, Allah akan memberikan kelonggaran di setiap kesempitan, memberikan jalan keluar di setiap kebingungan, dan Allah berikan dia rizki dari arah yang tidak dia sangka. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Ad-Daruquthni, al-baihaqi dan yang lainnya).
Hadis ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, hanya saja maknanya sejalan dengan perintah Allah di surat Hud:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
Perbanyaklah meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (QS. Hud: 3)
Keempat, Banyak berdo’a
Perbanyaklah berdo’a kepada Allah. Meminta segala hal yang kita butuhkan. Baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Karena semakin sering mengetuk pintu maka semakin besar peluang untuk dibuka-kan pintu tersebut. Semakin sering kita berdo’a, semakin besar peluang untuk dikabulkan. Namun perlu diingat, jangan suka minta dido’akan orang lain. Karena berdo’a sendiri itu lebih berpeluang untuk dikabulkan dari pada harus melalui orang lain. Lebih-lebih di saat kita sedang membutuhkan pertolongan. Akan ada perasaan berharap yang lebih besar bila dibandingkan dengan do’a yang diwakilkan orang lain. Disamping itu, berdo’a sendiri lebih menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah secara langsung. Dan kita melepaskan diri dari ketergantungan pada orang lain.
Kelima, Pegang Prinsip Kejujuran dan Hindari bentuk penipuan
Pernahkah kita menyadari bahwa plagiat dan mencontek ketika ujian termasuk bentuk penipuan. Adakah diantara kita yang sadar bahwa melakukan pelanggaran dalam ujian termasuk bentuk kedustaan. Pernahkah kita merasa bahwa hal itu membawa konsekuensi dosa. mungkin ada diantara kita yang beranggapan kalo itu tak ada hubungannya dengan agama. Ini lain urusan antara UN dengan agama. tak ada kaitannya dengan urusan akhirat.
Perlu kita sadari bahwa apapun bentuk pelanggaran yang kita lakukan ketika ujian, baik itu bentuknya mencontek, plagiat, catatan, pemalsuan data dan pelanggaran lainnya, hukumnya haram dan dosa besar. Tinjauannya:
1. Perbuatan itu terhitung sebagai bentuk penipuan. karena orang yang melihat nilai kita beranggapan bahwa itu murni usaha kita yang dilakukan dengan jujur dan sportif. padahal hakekatnya itu adalah hasil kerja gabungan, kerja kita dan teman-teman sekitar kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan menipu ini termasuk dosa besar. karena diancam dengan kalimat: “bukan termasuk golongan kami”. (lihat Syarh Riyadhus Sholihin Syarh hadis Bab: Banyaknya jalan menuju kebaikan).
Komite tetap tim fatwa Saudi pernah ditanya tentang masalah pelanggaran ketika ujian. Mereka menjawab: “Menipu dalam ujian pembelajaran atau yang lainnya itu haram. Orang yang melakukannya termasuk pelaku salah satu dosa besar.
Berdasarkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan bagian kami.” Dan tidak ada perbedaan antara materi pelajaran agama maupun non agama.”
Dalam kesempatan yang sama Komite fatwa ini juga pernah ditanya tentang hadis “barangsiapa yang menipu kami…” kemudian mereka menjawab:
“Hadis ini statusnya shahih. Mencakup segala bentuk penipuan baik dalam jual beli, perjanjian, amanah, ujian sekolah atau pesantren, baik bentuk penipuannya itu dengan melihat buku ajar, mencontek teman, memberikan jawaban kepada yang lain, atau dengan melemparkan kertas pada yang lain.”
2. Perbuatan ini termasuk diantara sifat orang yang diancam dengan adzab. Allah berfirman, yang artinya:
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
“…dan mereka yang suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab…” (QS. Ali Imran: 188).
Kita yakin, orang yang suka melakukan pelanggaran ketika ujian pasti tidak lepas dari tujuan mencari nilai bagus. Disadari maupun tidak, ketika ada orang yang memuji nilai UN yang kita peroleh pasti akan ada perasaan bangga dalam diri kita. Meskipun kita yakin betul kalo itu bukan murni kerja kita. Oleh karena itu, bagi yang punya kebiasaan demikian, segeralah bertaqwa kepada Allah. Mudah-mudahan kita tidak digolongkan seperti ayat di atas.
3. Perbuatan semacam tergolong sebagai orang yang mengenakan pakaian kedustaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لم يعط كلابس ثوب زور
“Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan maka seolah dia memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Ahmad & Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).
Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud “Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan” adalah orang yang menampakkan bahwa dirinya telah mendapatkan keutamaan padahal aslinya dia tidak mendapatkannya. (lih. Faidhul Qodir 6/338).
Orang semacam ini termasuk orang yang menipu orang lain. Dia menampakkan seolah dirinya orang pinter, nilainya-nya bagus, padahal aslinya….
Ujian adalah amanah untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai muslim yang baik, selayaknya kita jaga amanah ini dengan baik. Amanah ilmiah yang selayaknya kita tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Karena itulah yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Bukan jaminan orang yang nilai UN-nya baik, pasti mendapatkan peluang hidup yang lebih nyaman. Ingat, kedustaan dan kecurangan akan mengundang kita untuk melakukan kedustaan berikutnya, dalam rangka menutupi kedustaan sebelumnya. Dan bisa jadi itu terjadi secara terus-menerus. Berbeda dengan kejujuran, dia akan mengantarkan pada ketenangan, dan selanjutnya mengantarkan pada jalan kebaikan dan surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Keenam, tips dalam menghadapi kegagalan
a. Tanamkan bahwa semuanya telah ditakdirkan
sebagai bukti bahwa kita adalah orang yang beriman pada taqdir, kita yakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah. Kita yakini bahwa tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya. Baik kita ketahui maupun tidak. Kita tutup rapat-rapat jangan sampai kita berburuk sangka kepada Allah. Sebagai penyempurna keimanan kita pada taqdir adalah kita pasrahkan semuanya kepada Allah dan tidak terlalu disesalkan. Kegagalan bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita. Demikian pula, sukses bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita. Bahkan ini termasuk anggapan cupet manusia yang telah dibantah dalam Al Qur’an. Allah berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ( ) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ( ) كَلَّا…
Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan maka dia berkata: “Rabbku memuliakan aku.”(15) Namun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizqinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.”(16) sekali-kali tidak…..”(QS. Al Fajr: 15-17).
b. Bersabar dengan penuh mengharapkan pahala

Jika gagal ini adalah bagian dari ujian hidup maka berusahalah untuk bersabar. Lebih-lebih jika kita mampu untuk bersikap ridla atau bahkan bersyukur. Sesuatu yang berat ini akan menjadi terasa ringan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Tidak henti-hentinya ujian itu akan menimpa setiap mukmin laki-laki maupun wanita terkait dengan dirinya, anaknya, dan hartanya. Sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Riyadhus Shalihin).
Kegagalan ini akan menjadi penebus dosa jika orang yang tertimpa kegagalan tersebut mampu bersabar.
c. yakini ada yang lebih buruk dari pada kita
inilah diantara cara yang diajarkan islam agar kita tetap bisa bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang lebih bawah dari pada kamu, dan jangan melihat orang yang lebih banyak nikmatnya dari pada kamu, karena akan memberi kekuatan kamu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim)
d. hindari ber-andai-andai
jangan sampai terbetik dalam diri kita teriakan perasaan “andai aku tadi pinjem bukunya si A pasti aku bisa mengerjakannya..” “Andai aku tadi…pasti…” “Andai aku…kan harusnya gak…” dan seterusnya. Umumnya perasaan ini muncul ketika orang itu dalam posisi gagal. Karena perasaan ini merpakan awal dari godaan setan agar manusia mengingkari taqdir Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Apabila kamu tertimpa kegagalan, janganlah kamu mengatakan: “Seandainya aku bersikap demikian tentu yang terjadi demikian..” tetapi katakanlah: “Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki.” Karena sesungguhnya ucapan berandai-andai itu membuka (pintu) perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, ada ungkapan yang sunnah untuk kita ucapkan ketika sedang mengalami kegagalan:
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki”
e. berusaha untuk memperbaikinya dan jangan putus asa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Bersemangatlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta jangan sekali-kali kamu bersikap lemah (karena putus asa)…” (HR. Muslim).
Selamat menempuh ujian, semoga sukses menyertai kita semua…amiin
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits


Tidak ada komentar:

Posting Komentar